Seluk Beluk Perpajakan Apotek
Sebagai sebuah bisnis, dari segi legalitas, apotek juga memiliki pengertian tersendiri yang dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Dalam PP tersebut, apotek berarti sebagai sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker.
Mengingat apotek juga diakui sebagai usaha penghasil laba oleh pemerintah, maka selayaknya transaksi atau omzet yang dihasilkan harus dialokasikan sebagai pembayaran pajak. Penghasilan dari usaha apotek, jika memenuhi kriteria Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, yang memiliki omzet usaha selama satu tahun di bawah Rp 4,8 miliar dihitung menggunakan tarif Pajak Penghasilan Final 1 persen dari Peredaran Bruto Usaha.
Namun ternyata, aspek perpajakan apotek tidak hanya meliputi omzet saja. Materi dari bisnis apotek yang perlu diperhitungkan pembayaran pajaknya antara lain:
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
- Pajak Penghasilan (PPh)
Sebagaimana Pasal 21 Permenkeu Nomor 252/PMK/2008 menyebutkan bahwa PPh 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri. Jika omzet apotek di bawah 4.8 miliar rupiah dalam satu tahun maka dikenakan PPh sebesar 1% dari omzet.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan pajak tidak langsung dimana pajak terutang dihitung atas pertambahan nilai yang ada.
Jika sebagai pebisnis apotek Anda bingung dengan skema penghitungan pajak yang harus dibayarkan apotek Anda, jangan khawatir, Anda tinggal gunakan software apotek terbaik. Saat ini, Inofarma 2.0 telah mengembangkan sistem informasi perpajakan bagi bisnis apotek yang tentunya akan memudahkan dalam perhitungan pajak yang harus dibayarkan oleh setiap bisnis apotek.