Resiko Berinvestasi di Bitcoin
Resiko Berinvestasi di Bitcoin
Mata uang kripto (cryptocurrency) seperti bitcoin dan ethereum bekalangan semakin sering terdengar. Hal ini wajar, mengingat cryptocurrency sedang populer di kalangan warganet, yang menjadikannya sebagai cara baru mengakses uang di luar sistem keuangan konvensional.
Cryptocurrency merupakan bentuk dari uang digital yang didesain untuk membuat transaksi menjadi sangat aman. Aset digital ini dirancang sebagai medium pertukaran menggunakan kriptografi untuk mengamankan transaksi dan mengontrol berbagai hal terkait lainnya.
Bentuk cryptocurrency pertama adalah bitcon yang diciptakan pada 2009 dan sampai saat ini masih dikenal luas. Nilai cryptocurrency sendiri cukup fluktuatif. Bitcoin misalnya, setelah meroket ke level tertinggi di atas US$ 19.500 per koin pada Minggu lalu, harganya mengalami penurunan pada pekan ini. Pada Jumat (22/12/2017), nilainya sempat berada di bawah US$ 13 ribu.
Tidak seperti uang biasa, mata uang digital ini tidak memiliki bentuk fisik dan berbeda dari transaksi reguler pada sistem perbankan. Pada perbankan normal, pemerintah biasanya mengontrol suplai uang dengan mencetak unit uang.
Namun di dalam dunia cryptocurrency, produksi mata uang umumnya dibatasi. Saat ini hanya ada 21 juta bitcoin di dunia, sedangkan cryptocurrency lain seperti Litecoin terdiri dari 84 juta unit.
Terlepas dari keterbatasan dan nilai yang berfluktuasi, nyatanya cryptocurrency seperti bitcoin, semakin banyak dilirik. Namun, bukan berarti investasi cyrptocurrency tidak memiliki risiko.
Ada lima hal yang harus dipertimbangkan oleh investor sebelum memutuskan berinvestasi dengan mata uang digital tersebut. Berikut penjelasannya seperti dikutip dari The Economic Times, Sabtu (23/12/2017):
1. Volatilitas ekstrem
Berinvestasi dalam cyrptocurrency memiliki risiko sangat tinggi karena harganya yang sangat berfluktuasi. Banyak pakar skeptis tentang bitcoin sebagai sebuah investasi utama karena keterbatasan yang bisa mereka analisis. "Tidak ada cukup ekosistem di sekitar bitcoin untuk analisis fundamental agar bisa mempelajarinya sebagai sebuah investasi. Orang-orang berinvestasi di sana dengan informasi yang tidak lengkap dan bergabung dengan kawanan spekulan," tutur Partner and Fintech Leader PwC India, Vivek Belgavi.
2. Jangan investasi jika tidak paham
Sejumlah bankir dan pakar global memperingatkan para investor untuk tidak berinvestasi pada cryptocurrency. Mereka berpendapat, cryptocurrency hanya akan menjadi sebuah 'gelembung' yang siap meledak. CEO JP Morgan, Jamie Dimon, pernah mengekspresikan pendapatnya mengenai nilai bitcoin. "Ini lebih buruk daripada tulip bulbs (tulip mania). Ini tidak akan berakhir dengan baik," tuturnya.
Para pemilik dan operator bitcoin memiliki pendapat berbeda, salah satunya pendiri dan COO Zebpay, Sandeep Goenka. "Komentar dari CEO JP Morgan adalah pandangan pribadinya dan ada kemungkinan dia tidak memahami evolusi bitcoin. Di sisi lain, kami memiliki mantan CEO Citigroup, Vikram Pandit, yang berinvestasi pada bitcoin," ungkapnya.
Terlepas dari berbagai pendapat, jika para bankIr global saja tidak memahami fenomena ini, para investor ritel kemungkinan tidak memiliki banyak kesempatan. Jadi apa yang sebaiknya dilakukan? Tidak ada salahnya mengikuti nasihat investor dan pengusaha terkenal Warren Buffet, "Jika kalian tidak memahaminya, jangan berinvestasi di sana."
3. Tidak ada regulasi
Tidak seperti ruang investasi lain, cryptocurrency tidak diatur oleh pemerintah atau bank. "Tidak ada kewenangan seperti SEBI (Badan Sekuritas dan Bursa Efek India) untuk pengaduan keluhan," kata Director Fintech S.P. Jain School of Global Management, Vikram Pandya.
"Jika kita membeli sesuatu dengan kartu kredit dan dirugikan, kita bisa menghubungi bank dan meminta kompensasi. Namun, jika kita dirugikan saat transaksi bitcoin, sangat tidak mungkin bisa mendapatkan uang itu kembali," kata Chief Economist, PHD Chamber of Commerce and Industry India, S.P. Sharma.
4. Isu legalitas
Salah satu rintangan utama bagi para investor untuk berinvestasi pada cryptocurrency adalah soal status hukumnya. Kendati belum dinyatakan ilegal, sejumlah negara tidak mengakuinya. Misalnya saja Bank Indonesia (BI) yang tidak mengakui bitcoin sebagai alat pembayaran atau mata uang di Indonesia.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, menyatakan BI dan pemerintah hanya mendorong gerakan nontunai yang masih menggunakan mata uang Rupiah, tapi dalam bentuk aplikasi atau kartu. "Karena yang sedang didorong BI adalah lebih pada gerakan nontunai, tapi mata uangnya Rupiah," kata Mirza beberapa waktu lalu.
5. Penipuan dan aktivitas ilegal
Terlepas dari berbagai isu operasional, ada risiko penipuan yang tinggi. Mengingat banyak kesalahan informasi dan ketidakjelasan terkait perdagangan bicoin, para penipu memiliki peluang besar untuk melakukan aksinya melalui skema Ponzi yang menjanjikan keuntungan tinggi. Oleh karena itu, para investor diminta berhati-hati jika ada yang menawarkan janji tidak masuk akal.
Selain itu, tidak adanya kontrol pemerintah, para teroris dan penjahat juga memanfaatkan cryptocurrency untuk keuntungan kelompok mereka.
"Para pengguna bitcoin bisa tetap anonim pada akhir transaksi, sehingga panjahat siber memiliki cara untuk menutupi alamat mereka. Hal ini membuat pemerintah dan perusahaan-perusahaan kesulitan melacak aktivitas ilegal tersebut," kata MD and Head Asia Tenggara Kroll, Reshmi Khurana. Kroll adalah sebuah perusahaan konsultasi risiko dan keamanan siber.
Silahkan kunjungi laman produk Inolabs lainnya seperti Software Apotek, Software Klinik, dan Software Rumah Sakit yang semuanya berbasis web.