Kecerdasan Buatan, Teman atau Lawan Di Era Digital Medis
Kecerdasan Buatan, Teman atau Lawan Di Era Digital Medis
Setiap hari tantangan baru dalam dunia medis semakin bertambah. Untuk menangani penyakit-penyakit baru, dibutuhkan berbagai metode pengobatan baru dan kemajuan teknologi mutakhir yang mengharuskan dokter untuk memperluas ilmu pengetahuannya secara berkesinambungan bukan hanya dari segi pegobatan tetapi juga teknologi kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI).
Awal tahun ini, Forbes melaporkan bahwa algoritma kecerdasan buatan (AI) memberikan kinerja medis yang menjanjikan yang diketahui hanya mampu dilakukan oleh seorang dokter.
Hasil dari studi terbaru yang ditujukan pada penentuan diagnosis tuberkulosis (TB) di gambaran rontgen dada dengan bantuan AI, menunjukkan akurasi yang luar biasa. Peneliti mulanya ‘melatih’ model AI dengan ratusan gambaran rontgen pasien tanpa TB dan pasien TB. Kemudian, mereka menguji AI dengan 150 gambar rontgen baru. Angka akurasi dari sistem mencapai angka mengagumkan yaitu 96% akurat yang melewati hal yang dicapai oleh seorang spesialis radiologi.
Sebuah inovasi dalam dunia medis
Penemuan terbaru oleh tim di Universitas Adelaide Australia yang menciptakan sistem kecerdasan buatan untuk memprediksi masa hidup seseorang hanya dengan mempelajari gambaran digital organ tubuh menunjukkan hasil prediksi yang sama baiknya jika diperiksa oleh seorang dokter.
Tim tersebut menggunakan kecerdasan buatan untuk memeriksa gambaran digital dada 48 pasien. Hasilnya menunjukkan prediksi kecerdasan buatan terhadap pasien yang akan meninggal dalam kurun waktu 5 tahun dengan akurasi sebesar 69%, dibandingkan prediksi manual oleh dokter.
"Memperkirakan masa depan seorang pasien sangat berguna karena dapat digunakan oleh dokter untuk menyesuaikan terapi pada masing-masing individu," kata ketua redaksi Dr Luke Oakden-Rayner. "Daripada memusatkan perhatian untuk mendiagnosis penyakit, sistem secara otomatis dapat memprediksi hasil akhir medis yang tidak diajarkan kepada dokter dengan menyatukan volume data berjumah besar dan mendeteksi pola-pola yang halus," tambahnya.
Walaupun penggunaan kecerdasan buatan masih dalamtahap permulaan, namun Isaac Kohane, seorang dokter dan ketua bidang biomedis informatika Fakultas kedokteran Harvard, memperkirakan kecerdasan buatan akan mulai mendapat perhatian di bidang pencitraan digital dalam tiga tahun kedepan. Dia berpendapat para dokter harus mulai berpikir untuk beradaptasi pada perubahan-perubahan di masa yang akan datang.
Munculnya berbagai kekhawatiran
Meskipun studi-studi menunjukkan bukti yang memuaskan, cabang usaha permodalan Singapura Infocomm Development Authority, SGInnovate, mengungkapkan bahwa meyakinkan para dokter dan spesialis anak dapat menjadi suatu masalah.
"Dokter dan praktisi klinis terkadang tidak terlalu antusias mengenai model maupun suatu proses yang baru, saya tidak bermaksud tidak sopan. Hanya saja itulah kenyataanya," ungkap Steve Leonard, kepala eksekutif SGInnovate. Ia juga menambahkan bahwa pembuatan kebijakan dapat menjadi kunci untuk dipertimbangkan.Baru-baru ini Singapura meningkatkan investasinya untuk AI dengan menanam lebih dari 100 juta dollar Singapura untuk 5 tahun kedepan. Negara ini berencana untuk menggunakan AI untuk mengatasi tantangan-tantangan di masyarakat, termasuk bidang kesehatan.
Walaupun demikian, beberapa dokter yakin meskipun AI dapat melakukan berbagai hal, AI tidak dapat mengambil ahli interaksi antar manusia.
"Kesehatan dan perawatan kesehatan terlalu bersifat manusiawi bagi AI untuk diobati," kata Rasu Shrestha, kepala bagian inovasi di University of Pittsburgh Medical Centre dan kepala divisi radiologi dan informatika.
Alex Harding, seorang dokter yang menyelesaikan pendidikan spesialisnya di Massachusetts General Hospital memberikan contoh nyata pada pasien wanita penderita penyakit kronis yang menolak dilakukan pemeriksaan laboratorium. "Menurut saya, ia hanya takut mendengar kabar buruk," kata Hardy. "Tidak ada komputer di dunia yang dapat meyakinkannya untuk melakukan pemeriksaan tersebut." Hardy yakin hanya seorang dokter yang baik yang dapat melakukan pendekatan untuk meyakinkan pasien tersebut.
Bukan mengambil alih pekerjaan, melainkan saling bekerjasama dan berkolaborasi
Bryan Vartabedian, MD dan asisten professor bidang Pediatri di Baylor College of Medicine berkata bahwa dokter harus melihat diri mereka sebagai bagian dari perubahan masa depan daripada menganggap diri mereka sebagai korban.
"Tak peduli akan hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh mesin, kemajuan teknologi memaksa kita untuk kembali berpikir secara kritis apa yang kita lakukan saat ini," tulisnya.
Dokter Kohane memperkirakan kecerdasan buatan ini hanya dapat menggantikan 5%-10% rutinitas dokter dan akan memakan waktu lebih banyak untuk hadir sebagai "kebutuhan utama" dimana mesin dapat melakukan diagnosis sampai rencana terapi seperti dokter layanan primer yang terlatih.
"Yang sering kami lakukan di dunia kesehatan bukanlah membuat diagnosis," kata Dr Harding. "Ini mengenai interaksi dengan pasien, sebagai manusia, untuk menentukan pengobatan terbaik. Itu membutuhkan interaksi antar manusia yang dibangun dalam jangka waktu lama dan tidak dapat digantikan oleh komputer." MIMS